Discussion:
Nyandung teh Sunah?
Rahman
2006-12-14 09:53:55 UTC
Permalink
Aya artikel heubeul... jang bahan pikiraneun! ;))RH

Benarkah Poligami Sunah..?
Oleh Faqihuddin Abdul Kodir
13/05/2003

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada
berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat
yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama
istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28
tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi
berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa
hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan
pernyataan "poligami itu sunah".

UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran
poligami.

Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari
pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada
kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat
sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada
teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan.
Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak
mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi
poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan
terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh
Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad
al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi
perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan
darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan
kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir
menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka,
perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi
menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur
keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik
poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima
permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering
dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu
indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk
dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan
poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif.
Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya
sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada
berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat
yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama
istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28
tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi
berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa
hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan
pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi'i (w. 204 H), adalah
penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami
Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan
terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami'
al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn
al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi
adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika
lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa
dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan
Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti
Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan
"poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah
saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung
kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah
bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam
al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'âni, menyatakan, nikah bisa
diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi
hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian
halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat
kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Nabi dan larangan poligami

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya
transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179).
Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk
meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad
ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda
sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak
mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami,
mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku
adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai
sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya
empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah
ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah
pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang
awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip
keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa
yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil
kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas
dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049).
Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya
bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan,
dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan
"poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan
Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat
tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini
jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini
diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi,
dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti
Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar
rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu
berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin
kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan
mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib
menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah,
putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah
menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku
juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap
orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi,
poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati
orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang
sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak
dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami
sampai Fathimah RA wafat.

Poligami tak butuh dukungan teks

Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah,
apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya,
praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.
Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami
dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan
pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan
diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke
kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk
kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian
perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk
mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan
proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan
Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala
perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka
membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun
mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara
mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah
sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya
sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan
argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti
untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara
lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan
tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit
lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau
di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34
tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan
Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang
telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip
yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya
dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang
diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan
yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali
bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami
dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi
ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan
ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena
itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang
prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip
dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak
mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai
prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya
perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip
karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan,
untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris,
interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam
realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad
Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan
daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan
poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak
dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang
lain." (Jâmi'a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini
tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah". []

Dari Kompas, 13 Mei 2003 URL=
http://www.kompas.com/kesehatan/news/0305/13/061353.htm
Rahman
2006-12-15 10:04:56 UTC
Permalink
Dari Qasim Untuk Aa Gym
Oleh M. Guntur Romli
11/12/2006

Karena itu, bila kini Teh Ninih agak tergoncang ketika tahu dipoligami
Aa Gym, kemungkinan itu manusiawi dan sudah bisa ditebak. Bukan karena
Teh Ninih kurang shalihah dan tak patuh. Ia patut saja kecewa dan cemburu.

Perempuan yang dipoligami bisa saja tunduk pada apa yang dianggap
titah agama, namun mereka tak bisa tunduk pada satu hal: kodrat
manusia. Yaitu, rasa cemburu dan tak mau berbagi. Begitu juga
istri-istri Rasulullah: perempuan-perempuan yang terpilih karena
kesalehan dan kecantikannya. Madinah memberi Rasulullah sebelas istri.
Sebelumnya, Mekkah mengabadikan cintanya pada seorang istri saja:
Khadijah.

Sebagai suami, Rasulullah adalah manusia biasa. Rumah tangganya juga
tak lepas dari rundungan persaingan dan kecemburuan. Demikianlah
Bintus Syathi'—nama pena Aisyah Abdurrahman—mengisahkan sisi manusiawi
rumah tangga Rasulullah dalam bukunya, Nisâ'un Nabî (Istri-Istri Nabi).

Aisyah putri Abu Bakar cukup dikenal pecemburu. Ia kadang tidak puas
dengan posisinya sebagai istri terkasih. Saban Rasulullah membawa
istri baru, rasa cemburu selalu saja datang dan menyiksa Aisyah.
Padahal ia telah berkali-kali dipoligami.

Alkisah, rombongan Rasulullah baru kembali dari Khaibar. Mereka
mengalahkan suku Yahudi Bani Nadhir. Sebelumnya tersiar kabar bahwa
Rasulullah telah menikahi Shafiyah, putri jelita penguasa Bani Nadhir.
Aisyah menyambut Rasulullah dengan penuh cemburu. Ia mengamati madunya
yang singgah di rumah Haritsah bin Nu'man; rumah yang selalu menjadi
titipan bila Rasulullah mempersunting istri baru. Rasulullah tertawa
dengan sikap Asyah. Tapi beliau tak lupa merayu, "apa yang kau amati,
cantik?" Aisyah menjawab ketus: "Aku melihat seorang perempuan
Yahudi!" Rasulullah menyanggah, "Jangan berkata begitu. Ia sudah masuk
Islam, dan akan menjadi muslimah yang baik." Aisyah tak peduli. Ia
bergegas pergi.

Shafiyah lalu menjadi bulan-bulanan istri-istri Nabi lainnya yang juga
cemburu. Ia sering diejek "perempuan Yahudi". Suatu hari, Shafiyah
ikut serta dalam safari Rasulullah bersama istrinya yang lain: Zainab
putri Jahsy. Di tengah perjalanan, unta Shafiyah cidera. Rasulullah
membujuk Zainab agar berbagi punggung unta dengan Shafiyah. Zainab
menolak sambil berkata, "aku harus berbagi dengan perempuan Yahudi
itu?" Rasulullah murka. Konon, beliau tidak mendatangi Zainab dua-tiga
bulan.

Karena itu, bila kini Teh Ninih agak tergoncang ketika tahu dipoligami
Aa Gym, kemungkinan itu manusiawi dan sudah bisa ditebak. Bukan karena
Teh Ninih kurang shalihah dan tak patuh. Ia patut saja kecewa dan
cemburu. Aa Gym adalah sosok yang terlalu diidolakannya. Sebagai
lelaki dan suami, ia nyaris sempurna. Apalagi istri baru Aa lebih muda
dan lebih cantik.

Di zaman Rasulullah, istrinya yang tak pernah cemburu dan rela berbagi
dengan yang lain adalah Saudah. Ia berbadan gemuk, memang tidak
cantik, dan hampir saja ditalak. Untuk itu, ia sering merelakan
giliran malamnya buat Aisyah.

Kecemburuan dan persaingan memang sangat nyata dalam keluarga yang
berpoligami. Agama tak akan sanggup menafikannya. Keluarga akan tumbuh
kurang sehat, penuh kecurigaan, dan tak jarang menimbulkan pertengkaran.

Demi melihat kenyataan itu, Qasim Amien, pemikir feminis terkenal dari
Mesir, sudah mengingatkan bahaya budaya poligami bagi masyarakat. Bagi
Qasim—seperti yang ia tulis dalam buku Tahrîrul Mar'ah—poligami adalah
pelecehan bagi perempuan. Alasannya bukan dalil agama, tapi kodrat
manusia. Bagi Qasim, "tak ada isteri yang rela bila ada perempuan lain
ikut menyintai suaminya. Sama tak relanya seorang suami bila ada
laki-laki lain yang ikut menyintai istrinya. Cinta adalah kodrat, baik
bagi laki-laki maupun perempuan."

Bila Rasulullah berpoligami, kenyataan itu bisa dimaklumi. Saat itu,
perempuan memang tak punya hak sama sekali. Ia bisa ditanam
hidup-hidup atau menjadi barang warisan. Sayangnya, tak ada riwayat
yang mengabarkan kesan Rasulullah terhadap hidup bersama satu istri
dibandingkan banyak istri. Yang ada, Rasulullah senantiasa merindukan
sosok Khadijah: istri tunggalnya di Mekkah. Apakah Rasulullah juga
merindukan kehidupan monogami? Saya tak tahu. Mungkinkah kelak Aa bisa
berbagi pengalaman, sebelum dan setelah berpoligami? []
Rahman
2006-12-19 22:52:46 UTC
Permalink
Selasa, 19 Desember 2006 18:54:00
HTI: Keadilan dan Kesetaraan Gender Misi Liberalisasi Global yang
Harus Diwaspadai

Medan-RoL-- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menilai isu keadilan dan
kesetaraan gender (KKG) yang santer didengung-dengungkan sebagian
kalangan wanita di Indonesia tidak lebih dari sebuah misi liberilisasi
global yang diusung barat dan dicoba untuk terus ditanamkan agar
menjadi konsep hidup masyarakat.

"Kesetaraan gender merupakan bagian dari misi liberalisasi yang hendak
disebarkan kepada muslimah di seluruh dunia termasuk di Indonesia,"
ujar Koordinator Aksi HTI Kota Medan, Hj. Aminah Yunus Rasyid, ketika
berorasi di halaman Kantor Walikota Medan, Selasa.

Lebih seratusan massa HTI Kota Medan menggelar unjukrasa dalam rangka
menyongsong peringatan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember. Pada
kesempatan itu mereka mengusung sejumlah spanduk dan poster-poster
yang berisi penolakan mereka atas konsep kesetaraan gender.

Diantara spanduk dan poster-poster yang mereka bawa bertuliskan "Awas
KKG! KKG = Kerusakan dan Kehancuran Generasi", "Poligami Halal Vs Free
Sex Haram", UU PKDRT = UU Penghancuran Keluarga dan Rumah Tangga",
"Mengharamkan Poligami = Menentang Hukum Allah", dan "Kami Bangga
Menjadi Ibu Generasi Muslim".

Pada kesempatan itu mereka juga menggelar aksi teatrikal yang diberi
judul "Legalisasi Aborsi, Khitan Melanggar HAM". Aksi tersebut
menggambarkan kehidupan masyarakat yang kini cenderung menerima
praktik aborsi yang dilarang agama, sementara khitan yang jelas-jelas
perintah agama justru disebut melanggar HAM.

Menurut Hj. Aminah Yunus Rasyid, upaya menanamkan kebebasan pada
perempuan oleh para pengusung isu KKG dengan mengeluarkan
jargon-jargon persamaan hak laki-laki dan perempuan harus diwaspadi
oleh umat Islam terutama para muslimah.

"Mereka berusaha sekuat tenaga dengan mengadakan seminar-seminar,
diskusi-diskusi dan sosialisasi melalui media massa dan bahkan
melakukan transformasi sosial melalui institusi sosial yang ada,
seperti menganjukan RUU berbasis KKG yang mendukung kondisi lingkungan
yang mampu menghilangkan bias gender dan kemudian melahirkan UU
legalisasi aborsi serta legalisasi prilaku seks bebas dengan
mengatasnamakan HAM dan KKG," ujarnya.

Semua itu, katanya, harus benar-benar diwaspadi oleh kaum muslim
terutama muslimah, karena tujuan pastinya adalah untuk menjauhkan umat
Islam dari ketaatan kepada Allah SWT. "Kita bisa membayangkan apa yang
akan terjadi bila sisi kefeminiman kita dihilangkan dari diri kita,
sehingga kita tidak mau lagi mengurusi rumah tangga dan meninggalkan
anak-anak kita hanya karena sibuk dengan urusan agar kita merasa
setara dengan laki-laki," katanya.

Pada kesempatan itu HTI mengeluarkan pernyataan sikap antara lain
bahwa liberalisasi keluarga yang kini tengah dilakukan bukanlah jalan
yang tepat untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa keluarga
Indonesia. Kemiskinan lebih dinilai sebagai akibat dari sistem
kapitalis yang dibiarkan terus bekerja di Indonesia, sehingga
menimbulkan dampak buruk terhadap keluarga Indonesia termasuk kaum ibu.

HTI menilai kekerasan pada perempuan terjadi karena lemahnya kesadaran
para suami terhadap peran dan tanggung jawab yang semestinya diemban
dalam keluarga, disamping budaya kekerasan yang masuk ke tengah
keluarga melalui media massa.

Menurut HTI, penyelesaian menyeluruh dan mendasar dari persoalan itu
adalah dengan menghentikan sistem kapitalis yang memang bersifat
destruktif, menyetop budaya hedonis yang telah mendorong kekerasan dan
merusak tatan keluarga.
HTI juga menilai penghormatan terhadap kaum ibu tidak cukup hanya
sekedar secara seremonial dengan memperingati Hari Ibu, tetapi harus
dilakukan secara makruf dan menempatkan peran ibu secara benar.

Kabag Pemberdayaan Perempuan Kota Medan S. Harahap, SH, ketika
menerima massa HTI mengajak para ibu agar memulai penerapan syariat
Islam mulai dari rumah tangga dan secara bertahap menularkannya kepada
lingkungan masing-masing.

Ia mengaku setuju bahwa poligami halal dan seks bebas haram. "Poligami
adalah hukum Allah dan menentangnya berarti menentang hukum Allah.
Namun penerapannya tentu juga harus sesuai dengan konsep Islam
sebagaimana yang disunnahkan oleh Rasulullah," katanya. antara/mim
Waluya
2006-12-18 09:07:54 UTC
Permalink
Post by Rahman
Selasa, 19 Desember 2006 18:54:00
HTI: Keadilan dan Kesetaraan Gender Misi Liberalisasi Global yang
Harus Diwaspadai
Medan-RoL-- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menilai isu keadilan dan
kesetaraan gender (KKG) yang santer didengung-dengungkan sebagian
kalangan wanita di Indonesia tidak lebih dari sebuah misi liberilisasi
global yang diusung barat dan dicoba untuk terus ditanamkan agar
menjadi konsep hidup masyarakat.
Hihihi ...... sababraha poe kamari dina MetroTV diayakeun padungdengan
antara kolompok nu pro poligami jeung kolompok nu anti poligami. Kolompok
nu Pro poligami diwakilan ku wanoja anggota HTI. Memeh der padungdengan,
diayakeun heula polling, salah sahijina patarosan saha nu satuju poligami?
Kolompok HTI ngajawab 100% satuju. Ditanya deui patarosan nu sejenna, 100%
deui wae, sarua jawabanana teh sarwa saragam. Beda jeung kolompok nu anti
pologami jeung kolompok netral, jawabanana teh teu kantos 100% jiga kolompok
wanoja HTI. Kuring jadi rada ngahuleng, ieu "robot" meunang ngumpulkeun
timana?

Perkawis sistim perkawinan monogami, lain "sistem impor", tapi sabenerna mah
asli ti urang Sunda. Buktina loba yen urang Sunda teh "cenderung" monogami,
salah sahijina sistem perkawinan urang Kanekes (Baduy) nu monogami. Ngawin
wanoja leuwih ti saurang, keur urang Kanekes "buyut" (pamali). (Informasi ti
Kang Duddi). Matak teu heran, diurang lamun aya nu nyandung sok
disalindiran, dilelewe, diseungseurikeun tepi ka reaksi "heuras" saperti ka
Aa Gym. Msyarakat di urang nganggap pagawean nyamdung TEU PANTES. Jiga
hitut di hareupeun umum, atawa nyeuhil dihareupeun nu dahar. Hitut jeung
nyeuhil sadayana oge "halal", tapi nu halal oge pan kudu diukur oge ku
niley/norma nu aya di masyarakat.


Baktos,
WALUYA
Rahman
2006-12-20 08:54:46 UTC
Permalink
Post by Waluya
Kolompok HTI ngajawab 100% satuju. Ditanya deui patarosan nu
sejenna, 100%
Post by Waluya
deui wae, sarua jawabanana teh sarwa saragam. Beda jeung kolompok nu anti
Kang Wly,

Kuring ge mani olohok maca ieu artikel. Mun lalaki anu boga kitu
peta... nya kaharti, da NGABELAAN hak jeung KAWAJIBAN he he he. Tapi
ieu mah geuning awewe!

Tapi, anu jelas mah. Lalaki anu bisa nyiptakeun sikep awewe siga kieu
HEBAT pisan ceuk kuring mah. Kumaha metodeu na nya? Asa hayang nurutan
tah. Rek nyieun pamajikan kuring sina jadi robot. Daek diutah etah,
moal meunang boga kahayang jeung pamanggih.

Ngan... asa camplang meureun? Moal aya diskusi perkara naon bae oge.
Pan robot mah diprogram SUMUHUN DAWUH?

Moal jadi ah... ;))

baktos,

Rahman
Rahman
2006-12-21 08:12:17 UTC
Permalink
Neng Dara Affiah:
Poligami Rapuhkan Unit-Unit Keluarga
18/12/2006

Salah satu problem dalam mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan di dalam masyarakat Islam memang karena hukum Islam yang
dianut oleh arus utama susah sekali dirombak. Hukum Islam yang dianut
mainstream cenderung berpijak pada landasan normatif seperti ayat,
bukan fakta sosial.

Kemajuan-kemajuan yang relatif telah diraih gerakan perempuan
Indonesia dalam mewujudkan aspek kesetaraaan gender di dalam
masyarakat, kini diuji oleh isu poligami. Masih ada perdebatan sengit
soal landasan normatif dan fakta sosial praktek poligami. Seperti apa?
Berikut perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK)
Kamis (7/12) lalu, dengan Neng Dara Affiah, ketua Fatayat NU yang baru
terpilih sebagai Komisioner Komnas Perempuan.

Mbak Neng, poligami sebenarnya isu lama yang muncul lagi belakangan
ini. Bisakah Anda memberi gambaran singkat pandangan kaum pembela
kesetaraan laki-laki dengan perempuan dalam kasus poligami?

Neng Dara AffiahSebenarnya isu poligami sudah dibahas sejak tahun 1919
dalam gerakan perempuan di Indonesia. Kemudian isunya menghangat sejak
tahun 1935. Saat itu ada Kongres Perempuan Indonesia yang salah satu
tuntutannya adalah dihapuskannya praktek poligami. Hanya saja, saat
itu kaum perempuan terpecah dalam kubu-kubu. Kelompok yang sekuler
mendesakkan agenda itu untuk direspon negara, sementara kelompok Islam
menolak. Ini kemudian memecah gerakan perempuan Indonesia menjadi kubu
sekuler dan kubu Islam.

Apakah sekarang petanya masih seperti itu atau sudah relatif berubah?

Sebetulnya ada pergeseran yang cukup baik sejak disahkannya
Undang-Undang Perkawinan tahun 1974. Di dalam undang-undang itu sudah
ditetapkan bahwa laki-laki boleh berpoligami dengan
persyaratan-persyaratan yang cukup ketat, di antaranya bila istrinya
sedang sakit atau tidak bisa memberi keturunan. Itu sebetulnya sudah
bentuk kemajuan. Sebelumnya, kaum perempuan relatif permisif atau
menerima saja hitam-putih nasibnya ditentukan oleh orang lain.

Nah, keberadaan undang–undang itu membawa perubahan yang cukup
signifikan dan berimbas ke kalangan masyarakat bawah dan priyayi di
Indonesia. Kemajuan itu ditambah lagi dengan Peraturan Pemerintah
tahun 1990, yang di era Soeharto ikut memperketat laki-laki dalam
melakukan praktek poligami.

Sekarang isu poligami mencuat lagi setelah adanya sejumlah pergeseran
pandangan yang Anda ceritakan. Sebagai aktivis kesetaraan gender,
bagaimana Anda melihat perkembangan belakangan ini?

Saya pertama-tama ingin mendefinisikan diri sebagai seorang muslim,
baru kemudian sebagai seorang perempuan. Sebagai muslim, tentu hati
saya tersayat, karena setahu saya, agama saya tidak mengajarkan
praktek poligami yang selonggar itu. Yang saya tahu, titik tekan
poligami itu ada pada aspek keadilan, bukan pada perkawinannya itu
sendiri.

Sementara yang terjadi saat ini tampaknya kesalahkaprahan penafsiran
banyak orang terhadap surat an-Nisa' ayat 3 yang dianggap lebih
menitikberatkan aspek bolehnya perkawinan lebih dari satu istri itu,
bukan pada aspek keadilannya. Sebagai perempuan, saya tentu punya
solidaritas yang cukup kuat terhadap kaum perempuan yang suaminya
berpoligami. Saya kira, tak seorang manusia pun, baik laki-laki maupun
perempuan, yang mau diduakan.

Anda mengatakan Islam tidak sepermisif itu menerima perkawinan
laki-laki dengan banyak istri. Tapi ini juga menyangkut soal pemahaman
fikih atau hukum Islam. Kita tahu, paham yang dominan tampaknya masih
membolehkan. Di zaman modern, tak banyak ulama yang cenderung
berpendapat bahwa poligami itu tidak maslahat berdasarkan fakta-fakta
yang muncul dalam prakteknya. Mungkin hanya Muhammad Abduh yang
berpandangan sangat progresif dalam soal ini. Anda merasa fikih masih
bias gender dan kurang mempertimbangkan fakta sosial?

Salah satu problem dalam mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan di dalam masyarakat Islam memang karena hukum Islam yang
dianut oleh arus utama susah sekali dirombak. Hukum Islam yang dianut
mainstream cenderung berpijak pada landasan normatif seperti ayat,
bukan fakta sosial. Sementara orang seperti Abduh yang tadi Anda
sebutkan adalah seorang pemikir progresif yang tidak ingin mengabaikan
fakta sosial. Abduh cenderung mengharamkan poligami, karena menurut
dia, praktek poligami sudah tidak bermuara pada keadilan.

Dalam penelitian saya, praktek poligami masa sekarang lebih didorong
setidaknya oleh empat motivasi. Pertama, untuk mewadahi keserakahan
seksual. Kedua, para lelaki yang tertarik poligami ingin tetap
dianggap menarik secara seksual. Ketiga, untuk mencari kesenangan lain
karena sudah bosan dalam hubungan suami-istri yang sebelumnya. Dan
keempat, laki-laki ingin membuktikan bahwa dirinya masih kuat dan
menarik. Jadi, jarang sekali yang punya motivasi untuk benar-benar
menopang yang lemah dan menegakkan keadilan. Padahal, muaranya
sebetulnya harus ke situ.

Nah, 4 hal itu umumnya terlihat jelas dari para pria yang berpoligami.
Itulah yang menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan pemikir
Islam kontemporer. Dunia Islam cenderung lemah di dalam percaturan
global, salah satunya karena rapuhnya unit-unit keluarga akibat
praktek poligami.

Saya rasa tetap ada gap antara pandangan normatif Islam yang ditopang
Alquran tentang poligami dengan fakta sosial. Yang pro-poligami akan
berpegang teguh pada tafsiran harfiah atas ayat ke-3 surat an-Nisa'.
Sementara orang seperti Abduh sangat peka terhadap fakta sosial,
karena itu cenderung melarang. Bagaimana kedudukan fakta sosial dalam
penetapan hukum Islam?

Saya kira, hukum Islam yang banyak menjadi acuan masyarakat Islam saat
ini memang cenderung tidak mengakomodasi fakta-fakta sosial yang
kadang-kadang berubah menjadi penyakit sosial. Yang dilihat adalah
aspek normatif saja; teksnya seperti itu, interpretasinya seperti ini.
Padahal cara membunyikan dan memahami teks yang normatif itu harusnya
juga bersandar pada kenyataan sosial yang berkembang di dalam
masyarakat. Teks yang normatif tidak akan bunyi dan relevan dengan
zaman kalau tidak seiring dengan fakta sosial.

Bagaimana fakta sosial masyarakat Islam masa Nabi yang menjadi latar
belakang pembolehan poligami?

Setahu saya, turunnya ayat poligami itu berkaitan dengan kekalahan
umat Islam dalam perang Uhud di tahun 625 M. Saat itu, banyak sekali
prajurit muslim yang gugur di medan tempur dan mereka meninggalkan
anak-anak yatim beserta istrinya. Saat itu, masyarakat Islam masih
sangat terbatas, dan turunnya ayat poligami tampaknya didasarkan pada
dua hal. Pertama, untuk menjaga keutuhan masyarakat Islam yang secara
kuantitas masih sangat sedikit. Kedua, agar mereka yang akan bertindak
sebagai pengayom anak-anak yatim dan janda korban perang dapat berlaku
lebih adil.

Untuk masa itu, poligami mungkin merupakan bagian dari solusi yang
tepat karena struktur masyarakatnya masih berwatak sangat patriarki.
Bahkan, di masa itu sistem perbudakan pun masih diperbolehkan, walau
pelan-pelan mau dihapuskan. Tapi itu kan latar sejarah tahun 625.
Sekarang kita sudah di tahun 2006; masak masih harus melestarikan
praktek-praktek yang sudah tidak cukup sopan untuk konteks kekinian?!
Kita tahu, sistem perbudakan dulu dianggap boleh, tapi sekarang sudah
dianggap tidak sopan dan melanggar hak asasi manusia. Poligami, saya
kira harusnya juga begitu.

Masalanya, ayatnya masih ada, dan lewat proses penafsiran yang dangkal
dan gampang-gampangan, itu bisa dijadikan dalih pembenaran praktek
poligami?!

Saya terkadang merasa bahwa orang-orang yang membela poligami tidak
mengaitkan antara ayat yang mendukungnya di surat an-Nisa ayat 3
dengan ayat-ayat lain yang seakan-akan justru menafikan ayat itu. Di
akhir ayat itu sendiri misalnya sudah dikatakan bahwa "Bila engkau
kuatir tidak dapat berlaku adil, maka satu orang istri sajalah!"
Bahkan dalam surat lain juga dikatakan bahwa, "Kamu betul-betul tidak
akan dapat berbuat adil terhadap istri-istrimu walaupun kamu berusaha
keras untuk itu." Jadi, laki-laki sudah dikodratkan Tuhan untuk tidak
mungkin bisa berbuat adil terhadap banyak istri.

Lebih dari itu, dalam konteks perkawinan zaman Nabi, pembolehan
poligami sangat terkait dengan fakta banyaknya perempuan-perempuan
janda, anak yatim dan budak-budak yang menjadi bebas sosial. Sekarang
kan konteksnya sudah jauh berbeda. Kini kita tidak lagi berada dalam
konteks peperangan. Dalam faktanya saat ini, sebagian besar laki-laki
yang berpoligami, istri barunya jauh lebih cantik, lebih muda, lebih
menarik. Dan sangat jarang peminat poligami yang memilih orang-orang
yang paling patut ditopang secara sosial-ekonomi.

Ada yang menganggap bahwa para menentang poligami tidak memahami
kebutuhan spesifik laki-laki yang konon dianggap berbeda dengan kaum
perempuan. Tanggapan Anda?

Saya tidak paham apa yang dimaksudkan dengan tidak pahamnya kaum
perempuan terhadap kebutuhan laki-laki. Apakah yang dimaksud itu tidak
memahami kebutuhan syahwat pria yang konon dipercaya lebih tinggi dari
pada perempuan?! Saya kira, anggapan bahwa laki-laki itu jauh lebih
tinggi syahwatnya daripada perempuan adalah bagian dari konstruksi
sosial yang bersifat ideologis yang tidak terlepas dari konteks
sosio-kultural kita.

Data survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Maret 2006, menemukan
bahwa hampir 60% masyarakat Indonesia tidak menyetujui poligami. Ini
kabar gembira buat Anda dan perempuan umumnya, ya?

Ya. Sebetulnya sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama ibu-ibu,
tidak akan membenarkan poligami. Tidak hanya perempuan, banyak juga
kaum pria yang cukup tegas dalam penolakannya terhadap poligami. Jadi
kalau orang sangat berhasrat untuk melakukan poligami, sebaiknya
jangan bawa-bawa soal agama. Katakan saja bahwa ini adalah soal
syahwat, bukan soal agama. Tokoh-tokoh kita kadang-kadang sering
berkamuflase dalam soal yang satu ini.

Padahal itu sangat menyakitkan bagi kaum perempuan, terutama istri dan
ibu-ibu. Tak jarang terjadi kenyataan bahwa bangunan rumah tangga yang
sudah dibina bertahun-tahun dalam ikatakan suami-istri, diterpa
prahara setelah sang suami merasa kaya dan populer, saat ia kembali
terpikat dengan perempuan lain. Itu sangat menyakitkan bagi kebanyakan
istri.

Dan saya kira, ajaran agama manapun tidak pantas membenarkan seorang
istri disakiti sedemikian rupa, apalagi Islam sebagaimana yang saya
yakini. Islam tidak pernah membenarkan laki-laki menyakiti istrinya.
Bahkan ada sebuah ayat Alqur'an yang menegaskan agar laki-laki selalu
memperlakukan istrinya dengan santun. Wa`âsyirûhunna bil ma`rûf
(perlakukanlah istri-istrimu dengan cara yang santun, Red), kata
Alqur'an. Jadi Alqur'an sendiri mengamanatkan kaum pria agar
memperlakukan istrinya dengan santun, baik, ramah, sembari menghargai
kemanusiaannya.

Anda percaya ayat-ayat yang dianggap membenarkan praktek poligami itu
tidak terlanjur membudayakan praktek poligami?

Saya kira sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini menolak
poligami. Kalaupun di sebagian tempat ia sudah menjadi budaya, saya
kira budaya pun dapat berubah. Budaya itu tidak bersifat statis, tapi
dinamis dan sangat mungkin berubah. Kita tahu, dulu sultan-sultan
Jogjakarta itu punya ttradisi beristri lebih dari satu sekaligus
banyak selir. Tapi sekarang, Sultan Jogja yang menjadi gubernur saat
ini tetap setia mempraktikkan monogami. Dia juga tidak punya selir,
dan masyarakat menanggapinya secara positif. Semua baik-baik saja.
Jadi, kebudayaan bisa berubah, dan kaum elit bisa berperan besar dalam
membentuknya.

Data survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Maret
2006, tentang poligami.

Umum Laki-Laki Perempuan
Sangat Setuju 1,2 % 1,6 % 0,7 %
Setuju 32,5 % 45,9 % 18,8 %
Abstain 6,3 % 8,4 % 4,1 %
Tidak Setuju 53 % 40 % 65,9 %
Sangat Tidak Setuju 4,4 % 00,7 % 8,2 %

Loading...